Senin, 24 Oktober 2016

Pilkada bukan Perang


PEMILIHAN umum kepala daerah atau pilkada bukanlah perang. Ia bukan arena bagi rakyat pendukung untuk saling serang. Ia juga bukan ajang bagi kandidat untuk saling mengalahkan. Pilkada merupakan wahana bagi rakyat untuk memilih orang terbaik menjadi kepala daerah. Ia menjadi ruang bagi kandidat merebut hari rakyat untuk memilih mereka. Sesederhana itu semestinya kita memandang pilkada, tidak perlu memperumitnya seolah arena pertempuran.

Oleh karena itu, penetapan kandidat Gubernur DKI hari ini bukanlah pertanda ditabuhnya genderang perang. Ia sekadar perkenalan formal bahwa merekalah pasangan kandidat yang bisa rakyat pilih pada saatnya kelak. Disebut perkenalan formal karena toh masyarakat sudah mengenal para kandidat ketika partai-partai politik mengumumkan kandidat yang mereka usung.

Bahwa pilkada bukankah arena perang perlu kita ingatkan lantaran, terutama sejak partai politik mengumumkan kandidat yang mereka dukung, pilkada seolah menjadi arena pertempuran hidup mati. Istilah-istilah yang menjadikan pilkada DKI sebagai arena perang bermunculan, terutama di dunia maya. Ada istilah jihad saiber, ada pula istilah intifadah saiber.

Serangan verbal berbau suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA dari pendukung kepada kandidat berseliweran hampir setiap saat. Ironisnya, ditengarai ada kandidat yang menangguk untung dari isu SARA tersebut. Alih-alih meredamnya, ia justru menikmatinya.

Padahal, untuk menjaga agar pilkada tak menjadi arena perang, peran elite sangat dibutuhkan. Pun demikian agar perang di dunia maya tak beralih ke dunia nyata, kontribusi mereka sangat diperlukan. Para tokoh agama bolak-balik mengimbau masyarakat untuk tak mengeksploitasi isu SARA. Imbuan itu bagus dan tentu saja kita dukung. Akan tetapi, malah ada elite dan pejabat negara yang justru memanas-manasi situasi dengan pernyataan-pernyataan yang tidak perlu yang terkesan menyudutkan kandidat tertentu.

Sejumlah survei menunjukkan bahwa SARA tidak menjadi dasar bagi pemilih dalam menentukan pilihan mereka. Oleh karena itu, hentikanlah menjadikan SARA sebagai amunisi untuk saling serang. Ia percuma diandalkan karena hanya akan memecah belah rakyat dan memorakporandakan persatuan.
Bahwa rakyat semakin rasional dalam memilih, itu jelas menunjukkan kemajuan demokrasi kita. Akan tetapi, eksploitasi isu SARA bahkan sebelum pilkada betul-betul dimulai jelas mencederai kemajuan demokrasi kita. Karena itu, sekali lagi, hentikanlah penggunaan isu SARA sebagai amunisi untuk melampiaskan kebencian.

Setelah pengumuman resmi kandidat, dalam waktu dekat, kampanye pilkada DKI akan segera dimulai. Kita tentu tidak berharap kampanye menjadi ajang perang, arena pertempuran untuk saling serang di antara para kandidat dan pendukung. Kandidat satu bukanlah musuh bagi kandidat lain. Mereka tidak harus saling menaklukkan laiknya dalam perang. Yang harus kandidat taklukkan ialah hati dan pikiran para pemilih.

Kita berharap kampanye menjadi pentas yang mempertontonkan ide, gagasan, dan program. Dari situ, pemilih bisa dengan nurani dan pikirannya meninbang-nimbang mana di antara para kandidat yang kira-kira akan mampu menjadikan Jakarta lebih baik. Peran lembaga pengawas pemilu dan aparat keamanan sangat penting untuk memastikan pilkada bukan menjadi arena perang sehingga pilkada yang damai dapat diwujudkan.

Minggu, 16 Oktober 2016

Darah Juang "Sederhana, Realis, dan Penuh Inspirasi


Ketika memasuki zaman reformasi dulu, saya sering mendengar lagu "Darah Juang" dinyanyikan aktivis saat berdemonstrasi. Tiap demo dapat dipastikan lagu ini akan jadi semacam lagu wajibnya.

Saat kembali mendengar DARAH JUANG berkumandang
Namun belakangan ini, saya sudah hampir tidak pernah mendengar lagi dan baru kembali mendengar lagu ini dinyanyikan oleh salah satu sahabat saya yang merupakan seniman membawakan lagu ini pada saat acara Kaderisasi PDI Perjuangan Cakung Timur.

Jakarta kota yang serba instan. Kota ini mungkin paling padat penduduknya se-Asia Tenggara. Urusan apapun di negara ini pasti terkait dengan Jakarta entah itu soal kelangkaan minyak di pelosok Kalimantan sana atau pembunuhan tokoh adat berpengaruh di Papua.

Bila Anda ingin jadi bintang televisi terkenal, maka mendekatlah ke Jakarta. Hampir tiap minggu selalu muncul bocah-bocah yang didandani menor, rambut di-rebonding, dengan sedikit ponny menutupi jidat. Meski rata-rata umur mereka masih di bawah 15 tahun.

Jakarta dapat dipastikan akan memberi restu untuk jadi populer. Lagu-lagu romantis, manja, dan sedikit cengeng, diluncurkan di setiap penjuru ibukota. Kita bisa menghitung dengan dua telapak tangan dan dua telapak kaki untuk menghitung banyaknya album yang diluncurkan, didengarkan, didendangkan, lewat radio dan televisi.



Bagi mereka lagu ini sederhana tapi penuh makna

JHON TOBING

I do not care! Itu semua hanya tawaran mimpi. Bagi yang merasa nyaman dengan mimpi-mimpi tadi, tak jadi soal. Saya hanya mau mengajak Anda untuk menyimak bait-bait menggugah lagu "Darah Juang" saja. Liriknya sederhana, realis, dan penuh inspirasi, setidaknya buat saya pribadi.

Berikut lirik lengkap "Darah Juang":


Di sini negeri kami
tempat padi terhampar luas
samuderanya kaya raya
tanah kami subur, Tuhan.

Di negeri permai ini
berjuta rakyat bersimbah luka
anak kurus tak sekolah
pemuda desa tak kerja

Mereka dirampas haknya
tergusur dan lapar
Bunda, relakan darah juang kami
tuk membebaskan rakyat

padamu kami berjanji
padamu kami berbakti

tuk membebaskan rakyat


Lagu ini dikarang oleh John Sonny Tobing, mantan mahasiswa Filsafat UGM pada 1990an. Saya tak pernah kenal dia, tapi saya kenal karyanya. Bila lagu ini masuk dapur rekaman, saya kira, dia patut mendapat banyak royalti.

Namun saya tahu industri rekaman sebuah bentuk kapitalisasi yang cukup nyata. Lagu "Darah Juang" hanya digemari oleh kalangan terbatas, cukup terbatas untuk ukuran pasar rekaman lagu. Pasar tidak melihatnya sebagai potensi yang cukup menguntungkan.

Selain itu, umumnya aktivis sosial yang sering menyanyikan lagu ini adalah mereka para penentang kapitalisme dan globalisasi ekonomi. Dua terminologi yang merupakan jelmaan terbesar dari apa yang kita sebut sebagai 'pasar'.

Kojex.

Jumat, 14 Oktober 2016

Pengurus Ranting Cakung Timur Terus Panaskan Mesin Partai


Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan optimis unggul dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Salah satunya, Ranting PDI Perjuangan Kelurahan Cakung Timur sudah menargetkan menang di tiap-tiap wilayah di Kelurahan Cakung Timur.
Sekretaris Ranting Kelurahan Cakung Timur, Achmad Hari Priyanto menegaskan, mesin Partai PDI Perjuangan di Kelurahan Cakung Timur terus dipanaskan. Saat ini sudah fokus di tiap-tiap RW Se-Kelurahan Cakung Timur yang terdiri dari 14 RW.
“Mesin Partai terus kami panaskan. Kami terus lakukan komunikasi intensif dengan seluruh jajaran Pengurus Ranting dan Pengurus Anak Ranting, lalu turun ke masyarakat nantinya,” katanya di sela-sela konsolidasi dengan seluruh Pengurus Anak Ranting.

Ketua Ranting Kelurahan Cakung Timur, Purwo Widodo juga menargetkan memanaskan mesin partai hingga seluruh Pengurus Anak Ranting. Awal bulan depan, kata dia, Pengurus Ranting fokus hingga tingkat Saksi/TPS.
“Kami fokus sampai tingkat Anak Ranting. Untuk Cakung Timur kami yakin menang telak di Pilkada DKI Jakarta 2017,” paparnya.
Purwo Widodo optimis akan menang di Cakung Timur. Ia meminta seluruh kader untuk bekerja keras meyakinkan masyarakat mengenai kerja nyata Ahok-Djarot selama ini.
“Kami targetnya menang di Cakung Timur. Seluruh pengurus harus bisa bekerja keras yakinkan masyarakat agar Ahok-Djarot kembali terpilih, khususnya mengenai ISU SARA yang tengah beredar. Target kantong suara sebanyak-banyaknya,” tegasnya.



Harus Diakui, Cuma Ahok yang bisa Begini, Anak-anak Jakarta Terancam Bahagia Setiap hari

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau biasa disapa Ahok menyatakan bahwa punya target pembangunan sebanyak 123 RPTRA yang bakal selesai di tahun ini.
Pembangunan yang dikerjakan oleh para arsitek profesional ini pun telah menggunakan dana senilai Rp 1,2 miliar.
“Kita bangun pakai APBD untuk 123 lokasi. Selesai tahun ini. Desain (RPTRA) yang menggunakan APBD lebih bagus karena pengalaman dari arsitek. Kita lihat desain lebih minimalis dan fungsionalis,” ujar Ahok 
Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemda DKI Jakarta, Arifin menyatakan bahwa pembangunan 123 RPTRA yang menyebar di seluruh wilayah DKI Jakarta bakal segera diselesaikan.
“Tahun ini 123 RPTRA se-DKI kita bangun dan akhir Desember harus seluruhnya beres. Ini yang perdana (RPTRA Bhinneka) dari APBD yang kita resmikan. Tahun 2017 kita bangun lagi dengan dana APBD sebanyak 100 lokasi,” tukas Arifin.
Sebanyak 123 taman anak yang dibangun pada tahun 2016 ini diantaranya adalah 24 RPTRA di Jakarta Selatan, 24 RPTRA di Jakarta Barat, 28 RPTRA di Jakarta Timur, 31 RPTRA di Jakarta Utara dan 16 RPTRA di Jakarta Pusat.
Bukan hanya itu saja, sarana yang ada di dalam ruangan tersebut pun terdiri dariruang pertemuan serbaguna, ruang perpustakaan, laktasi, toilet difable, ruang pengelola, CCTV dan ruang konseling.

Megawati: Generasi Muda Jangan Sampai Ahistoris


Presiden RI kelima, Megawati Sukarnoputri, mengajak generasi muda dari berbagai negara yang hadir di Forum Kebudayaan Dunia (WCF) 2016, khususnya anak muda Indonesia untuk melek sejarah. Seluruh negara perlu bergotong royong memberi pemikiran, gagasan untuk mengintegrasikan budaya membentuk jati diri bangsa.

"Kita tak boleh menjadi kaum ahistoris. Sejarah adalah kekayaan kebudayaan manusia yang menjadi modal dan pusat analisa untuk kehidupan lebih baik di masa sekarang dan akan datang," katanya di Nusa Dua, Kamis (13/10).

Megawati mengatakan anak muda zaman sekarang lebih akrab dengan teknologi digital. Teknologi semestinya memanusiakan manusia, bukan menjadikan manusia sebagai robot. Teknologi seharusnya menambah ikatan emosional antarbangsa untuk menghargai perbedaan sebagai kekuatan, bukan ancaman. "Kekuatan digital harus menjadi sarana untuk melahirkan generasi muda yang tidak ahistoris," ujarnya.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini mencontohkan Bali, sebuah pulau populer di dunia yang diakses berbagai teknologi, dikunjungi berbagai wisatawan mancanegara, namun tetap mempertahankan tradisi budayanya. Hari Raya Nyepi tidak dirayakan dengan pesta pora, melainkan keheningan.

Masyarakat Bali Nyepi dengan cara tidak berkegiatan, tidak bekerja, tidak menyalakan cahaya atau api, dan tidak bepergian. Bali menjadi satu-satunya pulau di dunia yang mampu mengistirahatkan Bumi secara total di setiap perayaan Nyepi.

Manusia, kata Megawati bisa melupakan sejenak teknologi lewat Nyepi untuk melebur dengan alam.  Ia mengusulkan WCF 2016 bisa merekomendasikan gerakan hening selama satu menit setiap tahunnya pada Hari Bumi. Makna Hari Bumi bisa diperluas sebagaimana Hari Nyepi. Jeda individu menjadi jeda kolektif. Jeda kolektif menjadi jeda dunia.

"Saya yakin kita bisa membuktikan bahwa modernisasi tak akan mampu menenggelamkan manusia. Kemajuan teknologi tak akan menjadikan manusia makhluk mekanik dan teratomisasi. Kita akan menemukan ruang introspeksi kembali ke jati diri, yaitu menjadi manusia otentik," katanya.

Sumber : http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/10/13/oeywe2330-megawati-generasi-muda-jangan-sampai-ahistoris

Ahok Puji Kinerja Djarot 10 Tahun Bangun Blitar


Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, memuji kinerja pasangannya, Djarot Saiful Hidayat, dalam membangun kota Blitar, Jawa Timur.

Hal tersebut disampaikan Ahok di sela-sela kegiatannya saat berziarah ke makam bung Karno, di Blitar, Senin (10/10/2016).

Ahok menceritakan bahwa kunjungannya ke Blitar ini berawal dari keinginan untuk melihat hasil kerja Djarot saat menjadi Bupati Blitar dari 2000-2010.
"Saya bilang ke Mas Djarot, 'kan Mas Djarot 10 tahun jadi wali kota, mas saya liat kampungnya dong'," kata Ahok.

Djarot setuju untuk mengajak Ahok berkunjung ke Blitar. Namun belum terealisasi, rencana itu sampai ke telinga Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Megawati mengajak Ahok-Djarot untuk sekaligus berziarah ke makam ayahnya.
Megawati juga mengajak calon kepala daerah lain yang diusung PDI Perjuangan di Pilkada serentak, yakni Rano Karno-Embay Mulya (Banten), Hana Hasanah-Tony Yunus (Gorontalo), Rustam-Irwansyah (Babel), Ali Baal Masdar (Sulbar), dan Dominggus Mandacan (Papua Barat).

Tampak pula beberapa pengurus DPP PDI Perjuangan, antara lain Hasto Kristiyanto, Ahmad Basarah, Eriko Sotarduga, Komarudin Watubun, dan anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan.

Meski hanya melihat Blitar dari dalam mobil saat perjalanan menuju makam Bung Karno, namun Ahok menilai bahwa perkembangan kota ini sudah cukup pesat.

"Ini kan hebat, APBD sedikit, tapi pembangunannya banyak. Rumah sakitnya kelas kayak swasta, perpustakaan, macam-macam," ucap Ahok.

Sumber: Kompas.com

Tiada Jeda Menerima dan Mengurai Aduan Warga


Salah satu ciri kepemim­pinan ideal, apalagi di era masih mbulet (rumit)-nya birokrasi, ialah pemimpin mendekatkan diri dengan rakyat. Wujud kebijakannya, misalnya, memberikan akses seluas-luasnya bagi rakyat yang ingin menyampaikan masalahnya.

Kepemimpinan tanpa jarak model itulah yang hingga saat ini dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Belakangan, Ahok tidak henti-hentinya kebanjiran warga yang ingin bertemu dan menyampaikan masalahnya. Setiap harinya ada sekitar ratusan pengaduan.

Sebenarnya, Ahok telah menyediakan tiga nomor telepon selulernya bagi warga Jakarta yang ingin menyampaikan masalah. Tapi, tampaknya banyak warga yang lebih suka bertemu langsung dengan pemimpin mereka karena itu lebih efektif. Sebab itu, tidak aneh bila kantornya, Balai Kota, selalu ramai oleh warga yang membawa masalah masing-masing.

Biasanya, warga yang ingin berkeluh kepada Ahok rela menunggu sejak pagi-pagi di pendopo gubernur. Mereka duduk-duduk di tangga pendopo menunggu Gubernur yang selalu tepat tiba di Balai Kota pada pukul 07.30.

Sebelum melangkahkan kaki ke ruang kerjanya, Ahok dengan sabar dan telaten mendengarkan berbagai keluhan warga yang menghambur. Jika tidak ada agenda sangat penting, Ahok bisa menyempatkan waktu hingga 2 jam untuk warga.

Persoalan warga tidak melulu sengketa lahan atau penertiban. Juga soal ongkos berobat hingga biaya kuliah. Biasanya, Ahok menindaklanjuti hari itu juga.
Seperti aduan yang diterima kemarin. Ada warga Jakarta Barat yang melaporkan penggusuran rumahnya. Ia menolak digusur karena memiliki sertifikat sah. Lalu, seperti biasanya, Ahok spontan menindaklanjuti. Ia menelepon Wali Kota Jakarta Barat Anas Efendi. “Ini ada warga ngadu rumahnya dibongkar. Loh, jangan-jangan ini salah alamat.

Jangan sembarangan main bongkar ya,” ujar Ahok lewat ponselnya kepada Anas. Linarti, 80, pemilik rumah yang dibongkar itu, sontak kaget dengan respons Ahok yang secepat itu.

Sekretaris pribadi Ahok, Sakti Budiono, mengaku dirinya selalu diminta Gubernur untuk mengonfirmasikan dan menyelesaikan setiap aduan. Dalam memberi bantuan kepada warga, misalnya, ia diminta tak memberi uang. Tujuannya dalam mengatasi masalah tepat sasaran.

Tentu, apa yang dilakukan Ahok itu merupakan upaya mengefektifkan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Warga pun senang dengan sang pemimpin yang benar-benar mengayomi warganya.

Sumber: Media Indonesia

Cara Pengumpulan Dana Kampanye Ahok-Djarot Kreatif


Sekretaris DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi, menilai ide pengumpulan dana kampanye untuk pasangan bakal calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, merupakan hal kreatif.

Rencananya pengumpulan dana itu akan dilakukan dengan penyelenggaraan festival, makan malam berbayar, dan lainnya.
"Wacana kan sah-sah saja, itu kan namanya kreatif. Tinggal kami kolaborasi saja," kata Prasetio yang juga menjabat ketua tim pemenangan Ahok-Djarot, kepada wartawan, di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jumat (7/10/2016).

Dia mengatakan, ide pengumpulan dana kampanye pada Pilkada DKI Jakarta 2017 ini tak berbeda jauh dengan Pilkada DKI Jakarta 2012. Saat itu, PDI-P yang mengusung pasangan Joko Widodo-Ahok mengumpulkan dana kampanye dengan menjual baju kotak-kotak.

"Baju kotak-kotak sangat diapresiasi masyarakat, dan memang rezekinya di situ," ucap Prasetio.

Hasil penjualan baju dipergunakan untuk membuat baju kotak-kotak kembali. Dana yang dikumpulkan dipergunakan untuk membayar saksi dan keperluan kampanye.

"(penjualan baju kotak-kotak) jadi salah satu andalan dana kami, di luar patungan iuran Rp 100.000 tiap bulan oleh anggota Fraksi PDI-P. Gotong royong partai," kata Prasetio.

Sebelumnya, Ahok memperkirakan dirinya bersama Djarot memerlukan dana kampanye hingga Rp 15 miliar. Ahok mengatakan, dana kampanye itu dipergunakan untuk membayar saksi yang berada di tiap tempat pemungutan suara (TPS).

Dia menyebut, empat partai politik pengusung Ahok-Djarot akan mengeluarkan uang untuk pelatihan saksi. Empat partai pengusung adalah PDI-P, Partai Nasdem, Partai Hanura, dan Partai Golkar.
"Misalnya PDI-P, sudah melakukan pelatihan saksi, pakai uang dia. Dia menggerakkan anggota DPR nya," kata Ahok.

Sumber: Kompas.com

Siapa Ahok?

Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), telah menggeluti dunia politik selama 12 tahun. Baginya berpolitik adalah perlawanan terhadap status quo yang korup untuk mewujudkan keadilan sosial. Dengan berpegang teguh kepada Konstitusi dan bukan tunduk pada konstituen, Ahok membuktikan prinsip pemerintahan yang BTP (Bersih, Transparan, dan Profesional) bisa diwujudkan di Indonesia.

“Kamu tidak boleh pergi ke luar negeri, karena rakyat miskin membutuhkanmu,” kata seorang ayah kepada anaknya saat anaknya ingin pindah ke luar negeri karena frustrasi mengalami dan melihat perlakuan oknum-oknum penguasa yang tidak adil dan semena-mena. “Mana mungkin muka minyak babi seperti kita bisa dibutuhkan rakyat?” Tanya sang anak ragu karena merasa minoritas, Cina dan kafir. “Percayalah, suatu hari kelak rakyat akan langsung memilihmu untuk memperjuangkan nasib mereka,” jawab sang ayah meyakinkan anaknya. Anak itu bernama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).


Semua Bermula dari Ayahnya

Ayahnya adalah sosok yang paling mempengaruhinya. Saat Ahok masih bayi, sang ayah sampai pernah beradu mulut dengan ibunya karena memberikan beras kepada tetangga yang kelaparan, padahal keluarganya sendiri sedang kesulitan. Mendapat cerita itu, Ahok juga tidak habis pikir kenapa ayahnya melakukannya. Menanggapi anaknya, sang ayah menjawab, 
“JIKA KAMU HENDAK MENOLONG ORANG LAIN, JANGAN PERNAH BERPIKIR UNTUK MENUNGGU HINGGA KAMU BERKELIMPAHAN HARTA TERLEBIH DAHULU. KARENA SEMAKIN KEKAYAANMU BERTAMBAH, MAKA HATIMU AKAN SEMAKIN MELEKAT PADA HARTA ITU."
“Jika kamu hendak menolong orang lain, jangan pernah berpikir untuk menunggu hingga kamu berkelimpahan harta terlebih dahulu. Karena semakin kekayaanmu bertambah, maka hatimu akan semakin melekat pada harta itu. Akibatnya, kamu akan selalu merasa kekurangan. Tapi jika kamu tetap membantu orang yang kesulitan, sekalipun kamu berada dalam posisi tidak terlalu baik tetapi cukup memiliki apa yang diperlukan orang lain, maka semakin kamu berkelimpahan. Kamu pun akan semakin senang membantu orang lain. Uang itu penting, tapi jangan kita dikendalikan uang. Biarlah uang itu menjadi budak kita.”
Saat libur kuliah sang ayah mewajibkan anak-anaknya kembali ke kampung halaman. Ahok mengaku sempat kesal karena sebenarnya ia ingin berlibur bersama teman-temannya. Namun ayahnya ingin menjaga hati anak-anaknya agar tetap merakyat dan tetap merasa menjadi bagian dari anak-anak kampung. Menurut ayahnya, jika bertahun-tahun menuntut ilmu tanpa pernah kembali ke kampung, maka hubungan emosional dengan kampung halaman akan lenyap. Ini akan menyebabkan hilangnya empati terhadap orang-orang di kampung yang tidak memiliki kehidupan seberuntung dirinya.

Bukan hanya mengajarkan kepedulian kepada orang, sang ayah juga mengajarkan kepada Ahok bagaimana bisa membantu orang banyak dengan menegakkan keadilan sosial, bukan memberikan bantuan sosial. “Jika kita punya 1 milyar, kita bagikan 500 ribu rupiah per orang, hanya akan bisa diberikan kepada dua ribu orang. Jika jadi pejabat, kamu bisa memberikan bantuan secara terus menerus kepada lebih banyak orang lagi. Jadi cara terbaik untuk membantu orang adalah dengan menjadi pejabat”. Kata-kata inilah yang melekat betul di hati Ahok dan menjadi alasan utama dia ketika mulai berpolitik. 

Tutup Pabrik

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Ahok memulai karir dengan membuka pabrik pasir yang menjadi kontraktor untuk perusahaan-perusahaan di Belitung Timur. Pabrik yang didirikan Ahok tergolong sukses, di mana Ahok mampu mendapatkan keuntungan dalam jumlah besar dan mampu menghidupi banyak pegawai.
Akan tetapi, usaha Ahok ini menemui permasalahan ketika berhadapan dengan pejabat yang korup saat itu. Pabriknya terancam ditutup jika ia menolak main mata dengan aparat. Ahok menolak menyuap pejabat tersebut dan bahkan hampir memukulnya, sehingga akhirnya pabrik miliknya benar-benar ditutup. Penutupan pabrik tersebut sempat membuat Ahok frustrasi dan menyerah, hingga Ahok sempat berpikir untuk pindah ke Kanada. Setelah kejadian ini berlalu, Ahok teringat pepatah yang pernah diceritakan ayahnya: “Orang miskin tidak bisa melawan orang kaya, dan orang kaya tidak bisa melawan pejabat”. Pesan ini diingat betul oleh Ahok bahwa jika Ahok ingin melawan ketidakadilan dan korupsi, Ahok harus berpolitik dan menjadi pejabat.


Karir Politik dan BTP

Ahok akhirnya memilih masuk politik  di tahun 2004. Ia maju menjadi calon legislatif tingkat kota di Belitung Timur meskipun ketika itu ditawari oleh satu partai besar untuk menjadi anggota DPR-RI. Ahok meyakini teori politik Abraham Lincoln, Presiden ke 16 Amerika Serikat, “Kalau anda mau menguji karakter seseorang, berikan orang itu kekuasaan”. Panggung yang terbaik dan termurah untuk menguji karakter seseorang adalah dengan menjadi anggota DPRD tingkat 2.
Untuk menjadi anggota DPRD, Ahok sejak awal memilih berkampanye dengan cara yang berbeda dari yang dilakukan caleg lainnya. Ahok menolak membagikan kaos dan uang, dan memilih membagikan kartu namanya kepada warga. Ahok percaya bahwa dirinya berpolitik untuk menjadi pelayan rakyat, sehingga ia tidak mau memberikan uang kepada warga, bahkan sebaliknya ia justru berpikir bahwa seharusnya rakyatlah yang seharusnya menyumbang. Cara ini juga Ahok gunakan untuk menyaring pendukungnya yang benar-benar loyal dan memilihnya, bukan sekedar pekerja politik yang mencari uang.
Selama menjabat sebagai anggota DPRD, Ahok menunjukkan karakternya yang bersih, transparan dan profesional (prinsip BTP) dengan menolak menerima suap dan membongkar uang perjalanan dinas fiktif. Ahok memilih untuk fokus terhadap pembangunan manusia, dengan analogi yang mudah diingat masyarakat, yaitu membuat otak, perut, dan dompet warga penuh. Pembagian kartu nama yang dilakukan sejak kampanye terus dilanjutkan, dan Ahok membuka dirinya terhadap pengaduan-pengaduan dari warga secara langsung dengan membalas pesan sendiri melalui telfon genggamnya.
SELAMA MENJABAT SEBAGAI ANGGOTA DPRD, AHOK MENUNJUKKAN KARAKTERNYA YANG BERSIH, TRANSPARAN DAN PROFESIONAL (PRINSIP BTP) DENGAN MENOLAK MENERIMA SUAP DAN MEMBONGKAR UANG PERJALANAN DINAS FIKTIF.
Kedekatan dengan masyarakat, karakter Ahok yang bersih, dan keberaniannya membongkar permainan uang membuat masyarakat mendorongnya mendaftar sebagai Bupati Belitung Timur. Menjadi Bupati Belitung Timur hanya 18 bulan, Ahok menorehkan berbagai keberhasilan. Ia menjadi bupati pertama se-Indonesia yang mampu mewujudkan jaminan kesehatan universal melalui sistem asuransi yang tidan membebani APBD dan pendidikan gratis 12 tahun. Kinerjanya sebagai Bupati juga mendapat pengakuan di tingkat nasional, seperti oleh Majalah Tempo yang menobatkannya sebagai 1 dari 10 tokoh yang mengubah Indonesia pada tahun 2006. Ahok juga mendapat penghargaan sebagai Tokoh Anti Korupsi dari penyelenggara negara oleh Gerakan Tiga Pilar Kemitraan.
Di tahun 2012, Ahok terpilih menjadi anggota DPR-RI dimana ia tetap konsisten menjalankan prinsip BTP dengan menjadi satu-satunya anggota DPR yang memberikan laporan reses yang lengkap di websitenya dan mengembalikan uang reses yang tersisa. Ahok juga menjadi anggota DPR yang vokal mengadvokasikan peraturan-peraturan anti korupsi seperti pembuktian terbalik bagi siapapun yang mau menjadi pejabat publik.


Panggung Ibukota

Selama 8 tahun sejak menjadi anggota DPRD Belitung Timur sampai menjadi anggota DPR-RI, Ahok konsisten menjalankan prinsip BTP. Rekam jejak Ahok yang pernah menjadi pejabat publik, baik sebagai eksekutif maupun legislatif, menjadi bekal sangat berharga bagi Ahok untuk maju ke panggung yang lebih tinggi. Di tahun 2012, Joko Widodo meminang Ahok sebagai calon Wakil Gubernur DKI Jakarta. Sebagai pasangan yang sama-sama telah memiliki rekam jejak yang baik, pasangan Jokowi-Ahok mampu meyakinkan warga Jakarta dan mengalahkan petahana.

Menjadi Wakil Gubernur, dan kemudian sebagai Gubernur Jakarta sejak tahun 2014, merupakan panggung politik Ahok yang memperoleh sorotan nasional. Ahok mendapat kesempatan untuk menunjukan kemampuannya melakukan terobosan-terobosan yang dapat dijadikan sebagai contoh bagi daerah lain di Indonesia. Melalui berbagai kebijakan, Ahok mampu mewujudkan pemerintahan daerah yang kehadirannya sangat dirasakan dan melayani warga Jakarta. Salah satu contohnya adalah dengan memperkuat peran kelurahan dengan kehadiran PPSU untuk menjawab pengaduan warga secara cepat. Sejak 2012, Ahok juga konsisten menjaga APBD DKI agar digunakan secara efektif dan tidak disalahgunakan. Ahok selalu mengunggah video-video rapatnya, termasuk rapat anggaran yang sensitif, agar warga dapat melihat proses pengambilan keputusan. Ahok dengan tegas memotong anggaran siluman dan kegiatan yang tidak bermanfaat, dan kemudian mengarahkannya untuk pembangunan masyarakat dan infrastruktur. Atas berbagai kebijakan dan pencapaiannya, Ahok berhasil mendapat berbagai penghargaan, seperti anugerah Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) dan empat penghargaan dari Bappenas terkait rencana kerja DKI Jakarta.
Menjabat sebagai orang nomor satu di Ibukota negara tidak membuat Ahok kehilangan karakternya yang dekat dan terbuka kepada masyarakat. Ahok meruntuhkan kemegahan Balaikota DKI Jakarta yang dahulu terkesan angker dengan menerima masyarakat yang mau bertemu langsung dengannya setiap hari. Pengaduan masyarakat yang sejak menjadi Bupati Belitung Timur telah dilakukan juga terus dilanjutkan hingga hari ini, di mana pengaduan warga yang masuk mencapai ribuan per harinya. Ahok juga melanjutkan kebiasaannya menghadiri resepsi pernikahan warga di akhir pekan, yang sekaligus digunakan untuk blusukan dan melihat kondisi di lapangan.
Kerja kerasnya membuahkan hasil yang nyata dan sangat dirasakan dan diapresiasi warga DKI. Tidaklah mengejutkan jika ia dengan mulus memperoleh satu juta dukungan warga DKI untuk maju melalui jalur independen. Dengan modal politik tersebut, Ahok berhasil membuat partai-partai politik besar tidak punya jalan lain selain mengusung Ahok tanpa syarat. 

Anak Itu Tetap Di sini

Anak itu tidak jadi pindah keluar negeri karena dorongan nuraninya untuk berbuat bagi banyak orang dan amarahnya setiap kali melihat ketidakadilan dari penguasa. Anak itu memilih untuk tetap di sini, di negeri yang ia cintai, untuk melakukan perubahan dan memperjuangkan hak-hak rakyat. Ia tetap di sini namun ia tak dapat berdiri sendiri. Perjuangannya ke depan untuk kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 membutuhkan kita untuk berdiri di belakangnya, mendukungnya, agar mimpi kita bersama yang bernama “Indonesia” bisa terus hidup dan segera tercapai.

Sumber : https://ahokdjarot.id/profil/siapa-ahok

Siapa Djarot?


Djarot Saiful Hidayat adalah pemimpin dengan rekam jejak kebijakan yang konsisten berpihak kepada warga kecil. Djarot mengedepankan komunikasi dan pendekatan turun langsung untuk menciptakan inovasi kebijakan bagi warga Jakarta.


Djarot, Pemimpin Berhati Rakyat

Keberhasilannya menata pedagang kaki lima (PKL) di Kota Blitar, Jawa Timur serta pengalaman memimpin sebuah kota sebagai Wali Kota Blitar selama dua periode, 2000-2010, menjadi alasan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, atau yang akrab disapa Ahok, melirik Drs. Djarot Saiful Hidayat, MSi untuk dijadikan sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Posisi tersebut kosong setelah Ahok dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 menggantikan Joko Widodo yang terpilih menjadi Presiden RI ke-7. Pada tanggal 17 Desember 2014, Djarot resmi dilantik menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta hingga sekarang.
Melihat kesantunannya dalam bersikap, bertindak dan berbicara serta memiliki pendekatan dari hati ke hati terhadap pegawai negeri sipil termasuk masyarakat, Ahok yakin Djarot mampu menjadi penyeimbangnya dalam menjalankan roda pemerintahan di Provinsi DKI Jakarta, yang juga menjadi Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Karena itu, ketika Ahok merencanakan untuk maju kembali sebagai Gubernur DKI periode 2017-2022, sejak awal ia menginginkan Djarot menjadi pasangannya. Akhirnya, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri mengabulkan keinginan Ahok karena melihat kinerja Ahok-Djarot cukup mumpuni dalam membangun Jakarta ke arah yang lebih baik, serta mendengarkan juga suara warga Jakarta yang sangat menginginkan duet Ahok-Djarot memimpin kembali.
Sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta, bukan hanya menjalankan tugas untuk berjuang bagi rakyat kecil, Djarot juga berkeinginan menjadikan Jakarta provinsi yang tetap menjunjung tinggi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai simbol persatuan bangsa Indonesia. Sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta dan juga kader Partai PDI-Perjuangan, Djarot menerapkan Dasa Prasetia sebagai tujuan yang telah ditetapkan oleh partai.

Siapa Djarot Saiful Hidayat

Djarot Saiful Hidayat, putra keempat dari keluarga Mochammad Tojib, seorang pensiunan militer dari detasemen perhubungan. Ketika baru lahir, ayahnya memberi dia nama Saiful Hidayat, tanpa Djarot. Nama depan Djarot itu ditambahkan kemudian, dari panggilan seorang tukang tempe langganan sang ibu. Kebetulan, ketika kecil dia sering diasuh penjual tempe langganan ibunya itu. Karena ketika kecil dia sering sakit-sakitan, pengasuhnya yang penjual tempe itu suka memanggilnya Djarot. Kepercayaan masyarakat kala itu, anak yang sering sakit-sakitan perlu ganti atau tambah nama.
Akibatnya, panggilan Djarot itu menjadi melekat dan akrab di tengah keluarga. Hal ini membuat orangtuanya menambahkan nama Djarot didepan namanya. Akhirnya, namanya menjadi Djarot Saiful Hidayat. Menurut orang tuanya, nama panjangnya itu (Djarot Saiful Hidayat) mempunyai makna tersendiri yaitu yang berarti laki-laki (Djarot) pembawa pedang (Saiful) yang diberikan petunjuk dan kemuliaan (Hidayat). Dengan tambahan nama Djarot itu, ibunya, Alifah, menyisipkan doa kiranya si bocah yang sempat sakit-sakitan itu kelak akan menjadi anak laki-laki yang akan bisa memimpin dan memberikan petunjuk maupun teladan.
Djarot diasuh dalam lingkungan keluarga yang sudah terbiasa bekerja keras. Pekerjaan apapun dilakukan, mulai dari bertani, berternak dan berjualan di pasar, yang penting halal, dan pendidikan tidak terputus. Dia bercerita, sewaktu kecil, ibunya mendirikan toko kelontong di rumahnya untuk membantu menghidupi kebutuhan keluarga, karena gaji ayahnya sebagai tentara tak seberapa. Dia pun bersama enam saudaranya bergantian menjaga toko kelontong ibunya itu.
"Bapak saya tentara, anaknya ada tujuh orang. Sewaktu kecil, ibu mendirikan toko kelontong untuk membantu perekonomian keluarga. Jaganya gantian. Karena saya sering jaga, jadi saya tahu harga gula dan beras. Saya tahu kualitas dan jenisnya. Alhamdulilah, bisa menghidupi sekolah anak-anaknya, bisa sampai sarjana," ceritanya. Berkat kerja keras orang tuanya, Djarot dapat mengenyam pendidikan tinggi hingga Djarot berhasil menjadi seorang yang sukses. Perjalanan karir Djarot mengantarnya hingga menjadi Walikota Blitar. Dalam pemilihan oleh DPRD Kota Blitar tahun 2000, Djarot terpilih menjadi Wali Kota Blitar ke-21 periode 2000-2005. Dalam Pilkada berikutnya, Djarot dipercaya rakyat Blitar kembali menjabat Walikota untuk periode kedua (2015 - 3 Agustus 2010).
Dalam Pemilu 2014, Djarot terpilih menjadi Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (2014-2019). Namun pada Desember 2014, jabatan Anggota DPR RI tersebut dilepaskannya setelah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang baru saja dilantik menggantikan Presiden RI Jokowi, memilih dan melantiknya menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta, 17 Desember 2014 – 20 Oktober 2017, menggantikan posisi Ahok sendiri. 

Jadikan Kota Blitar, Kota Maju

Selama menjadi Wali Kota Blitar, Djarot berhasil menata ribuan pedagang kaki lima yang dulunya kumuh di kompleks alun-alun menjadi tertata rapi. Tidak hanya itu, mantan anggota DPR RI (1 Oktober 2014-12 Desember 2014) juga membatasi mall. Djarot mempunyai visi dan misi yang sama dengan Presiden RI ke-7, Joko Widodo, yakni lebih memilih menata pasar tradisional dan PKL dengan konsep yang matang dan berpihak pada rakyat kecil dibanding mengizinkan berdirinya pusat perbelanjaan yang justru meminggirkan kaum rakyat kecil. Dengan keberhasilannya tersebut, tak heran jika Djarot dijuluki sebagai pakar pasar tradisional. Kebijakannya tersebut berhasil mendongkrak perekonomian di Blitar.

Salah satu inovasi kebijakan lain dari Djarot selama menjabat sebagai Walikota Blitar adalah mengeluarkan kebijakan renovasi rumah tidak layak huni dengan menyediakan dana hibah. Pemerintah Kota Blitar mengucurkan uang insentif untuk memperbaiki rumah warga yang tak layak huni senilai Rp 4,5 - 7 juta per rumah. Dengan kebijakan ini, Djarot juga berhasil membangkitkan kembali semangat bergotong-royong di tengah masyarakat. Masyarakat bergotong-royong merenovasi rumah-rumah reyot yang ada di sekitarnya. Sampai akhir jabatannya, lebih 2.000 rumah reyot telah direnovasi di beberapa kelurahan dan desa.
Selama menjabat Wali Kota, Djarot berhasil mengubah Blitar yang tadinya hanya sebuah kota kecil dan miskin menjadi daerah terkaya nomor 2 di Jawa Timur. Kerja kerasnya melayani warga dan membangun Kota Blitar telah membuat Ia meraih berbagai penghargaan. Di antaranya, Penghargaan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi daerah pada tahun 2008, serta selama tiga tahun berturut-turut meraih Piala Adipura dengan kategori Kota Terbersih. Kemudian ia juga mendapatkan Penghargaan Upakarti (2007), Peringkat Pertama penerapan E-Government di Jawa Timur (22 Maret 2010), dan Penghargaan atas terobosan inovasi daerah se-Provinsi Jawa Timur (30 April 2008). 

Wali Kota Yang Suka Blusukan

Sebagai Wali Kota Blitar ke-21, Djarot sudah menunjukkan kepedulian dan keberpihakannya kepada rakyat miskin. Bahkan dari apa yang dilakukannya membuktikan bahwa Djarot tak sekadar peduli dan berpihak, melainkan memang dia menyelami hati nurani rakyat jelata. Sejak hari-hari awal menjabat walikota, Djarot sudah suka blusukan dengan naik sepeda dan sepeda motor Yamaha Scorpio Merah. Tanpa memakai baju kebesaran pejabat, hanya pakai kaos oblong, ia mengitari berbagai tempat di Blitar, menyapa dan mendengar aspirasi rakyat tanpa protokoler dan tanpa (mengundang) liputan pers.


Selama 10 tahun memimpin Blitar banyak langkah berani dan inovatif yang dilakukannya. Seperti saat baru dilantik, ia menolak mobil dinas baru. Dia memilih memakai mobil bekas walikota pendahulunya, Toyota Crown. Hingga dua periode (10 tahun) menjabat walikota, dia tetap mempertahankan Toyota Crown tersebut.
Ada dua hal yang ingin Ia ajarkan dengan tak meminta mobil dinas baru. Pertama, untuk penghematan anggaran. Menurutnya, mobil dinas itu masih layak, tak perlu diganti hanya karena pejabatnya berganti. Selain itu, kalau mobil dinas walikota diganti pasti ketua DPRD, ketua fraksi, dan staf di balaikota semuanya meminta ganti. Walaupun sebenarnya penggantian mobil itu sudah dianggarkan, tapi Djarot tetap menolak karena menganggap hal itu pemborosan.
Kedua, Ia ingin memberikan contoh atau teladan, bahwa menjadi pejabat itu tidak boleh semena-mena menggunakan anggaran daerah yang berasal dari uang rakyat. Anggaran daerah harus dikembalikan kepada rakyat dengan cara membangun kota sebaik mungkin dan untuk peningkatan kesejahteraan mereka.
“YA DENGAN BINCANG-BINCANG BARENG SAMA WARGA KAN SAYA JADI TAHU PERMASALAHAN YANG TERJADI DI TENGAH-TENGAH WARGA. LALU BISA KITA KASIH SOLUSINYA LANGSUNG."
Lebih menariknya lagi adalah saat baru menjabat Wali Kota, Djarot baru saja melepas masa lajangnya. Saat itu pasangan suami-istri tersebut tidak memiliki aset tanah ataupun rumah pribadi di Blitar selain rumah dinas yang disediakan Pemkot. Prihatin melihat kenyataan itu, salah seorang stafnya di Pemkot datang menghadap dan menawarkan sebidang tanah untuk diambil secara gratis bagi walikota baru. Tanah tersebut cukup luas, berkisar hektaran, dan terletak di kawasan strategis. Disebut, tanah itu tidak terdata di aset Pemkot dan bisa dimiliki 100 persen atas nama pribadi. Tanah gendom yang statusnya aman untuk dikuasai secara pribadi, tapi Djarot dengan tegas menolaknya. Bahkan dia meminta stafnya untuk mendata semua aset pemerintah dan tanah gendom masuk dalam aset Pemkot, sehingga tanah-tanah tak bertuan itu menjadi terdata sebagai aset Pemkot Blitar. 

Sebagai Wakil Gubernur DKI

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama melantik Djarot Saiful Hidayat menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 17 Desember 2014 di Gedung Balai Agung, Balai Kota DKI Jakarta. Setelah dilantik, kesederhanaan seorang Djarot tidak berubah. Djarot meminta disediakan lima sepeda motor untuk digunakan blusukan. Satu sepeda motor itu ditempatkan di rumahnya. Sisanya ditaruh di lokasi-lokasi blusukannya. “Saya sengaja memesan lima unit sepeda motor untuk digunakan blusukan. Karena perjalanan menggunakan sepeda motor mampu menghemat waktu, lebih gesit. Sepeda motor memiliki daya jangkau yang lebih luas ketimbang mobil. Saya bisa masuk ke gang di kampung-kampung," ujar Djarot.

Blusukan tetap menjadi bagian dari rutinitasnya sebagai Wakil Gubernur DKI. Dalam setiap kesempatannya blusukan ke pemukiman padat penduduk, Djarot tak segan-segan duduk bersama dengan warga. Ia akan makan bersama dengan makanan dan minuman yang sama dengan warga.
Ia dengan tenang mendengarkan segala keluh kesah warga lalu memberikan jawaban dengan bijak terhadap kritikan, keluhan dan aspirasi warga untuk Pemprov DKI Jakarta.
“Ya dengan bincang-bincang bareng sama warga kan saya jadi tahu permasalahan yang terjadi di tengah-tengah warga. Lalu bisa kita kasih solusinya langsung. Warga enggak perlu nunggu lama-lama. Misalnya, aliran air bersih nggak ada, kita minta PAM Jaya untuk membereskannya. Ada pungli, kita minta instansi terkait membereskannya. Jadi langsung kan. Juga kita dapat masukan yang baik dari warga,” jelas Djarot.

Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah dan Pasar Tradisional untuk Jakarta

Pengalamannya menata pasar di Blitar ia bawa ke Jakarta untuk menata keberadaan minimarket yang telah menghimpit pedagang kelontong kecil dan pasar tradisional di Jakarta. Selang satu hari setelah dilantik, Djarot mengatakan keinginannya untuk mengevaluasi keberadaan minimarket di Ibu Kota. Setiap minimarket di kelurahan dan kecamatan harus dikontrol. Menurutnya, minimarket tidak bisa dibiarkan tumbuh berkembang pesat.
"Tidak boleh ada pembiaran. Sebab bila terjadi pembiaran, pasar tradisional akan mati. Pengusaha minimarket wajib menampung produk usaha menengah, kecil dan mikro. Tidak boleh mau kaya sendiri tanpa melihat warga sekitar," tegas Djarot. Djarot menyatakan akan fokus pada pasar tradisional dan perkampungan kumuh, termasuk pembatasan minimarket. Menurutnya, jumlah mini market di Jakarta sudah melebihi batas dan berpotensi mematikan pedagang kecil.
"TIDAK BOLEH ADA PEMBIARAN. SEBAB BILA TERJADI PEMBIARAN, PASAR TRADISIONAL AKAN MATI. PENGUSAHA MINIMARKET WAJIB MENAMPUNG PRODUK USAHA MENENGAH, KECIL DAN MIKRO. TIDAK BOLEH MAU KAYA SENDIRI TANPA MELIHAT WARGA SEKITAR,"
Pasar tradisional yang becek dan bau karena dipenuhi sampah, disaksikan Djarot ketika blusukan ke Pasar Jaya Kedoya. Dia pun meminta sampah-sampah yang ada untuk segera diangkat, serta memberi tenggat waktu membersihkan pasar secara keseluruhan. Sehubungan dengan kebersihan pasar tradisional, Djarot menyampaikan keinginannya untuk menjadikan pasar tradisional sebagai pusat pengolahan kompos, contohnya di Pasar Kramat Jati yang 80% sampahnya merupakan sampah organik. Ketika blusukan di Pasar Induk Kramat Jati, Rabu, 4 Februari 2015, Djarot meminta Perusahaan Daerah Pasar Jaya mengubah Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, menjadi pasar wisata. "Jadi pasar wisata belanja sayur-mayur dan buah-buahan segar," katanya.
Saat ini, Djarot kembali mendampingi Ahok maju sebagai Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada 2017. Karakter Djarot menjadikan pasangan ini saling melengkapi. Rekam jejak pasangan ini juga sudah teruji selama dua tahun dan terbukti mampu melakukan terobosan-terobosan nyata. Terobosan-terobosan yang bukan hanya mampu mengubah wajah Jakarta, tetapi juga mengubah standar kepemimpinan di Indonesia.

Sumber : https://ahokdjarot.id/profil/siapa-djarot